Megaproyek Sungai China Memakan Anggaran Rp 1,1 Kuadriliun

Jakarta – Megaproyek South-to-North Water Diversion Project di China adalah proyek infrastruktur air terbesar di dunia yang bertujuan memindahkan air dari wilayah selatan yang kaya sumber daya air ke wilayah utara yang sering mengalami kekeringan. Proyek ini terbagi dalam tiga jalur utama: rute tengah, timur, dan barat. Anggaran proyek diperkirakan mencapai 1,1 kuadriliun rupiah atau sekitar 62 miliar dolar AS, dan proyek ini telah berjalan selama beberapa dekade. Sementara itu, rute timur mengambil air dari Provinsi Jiangsu menuju Tianjin dan Shandong. Rencana untuk jalur barat, yang akan melibatkan pegunungan Tibet, masih dalam tahap perencanaan dan evaluasi. Meski bermanfaat, proyek ini juga menuai kritik terkait dampak lingkungan dan pemindahan penduduk. Namun, pemerintah China tetap memandangnya sebagai solusi krusial untuk krisis air di wilayah utara negara tersebut

Ide Megaproyek Ini Sudah Ada Sejak Tahun 1952

Megaproyek South-to-North Water Diversion Project di China memiliki akar sejarah yang panjang dan terinspirasi oleh Mao Zedong pada tahun 1952.

Perjalanan Realisasi Proyek

Meski digagas sejak era Mao, proyek ini baru mulai diteliti secara serius pada tahun 1990-an. Tekanan pertumbuhan ekonomi, peningkatan populasi, dan krisis air membuat pemerintah China akhirnya memutuskan untuk memulai konstruksi pada tahun 2002. Proyek ini mencakup tiga jalur utama:

  1. Jalur Timur: Menggunakan kanal dan sungai yang sudah ada, membawa air dari Sungai Yangtze ke wilayah utara.
  2. Jalur Tengah: Mengalirkan air dari Waduk Danjiangkou menuju Beijing dan Tianjin, yang mulai beroperasi pada 2014.
  3. Jalur Barat: Direncanakan akan membawa air dari wilayah pegunungan Tibet, namun masih dalam tahap studi karena tantangan teknis dan lingkungan.

Kesimpulan

Ide Mao Zedong tahun 1952 menjadi pijakan awal bagi megaproyek ini, yang kini diakui sebagai proyek infrastruktur air terbesar di dunia. Dengan menyalurkan lebih dari 50 miliar meter kubik air sejauh ini, proyek ini berhasil mengatasi sebagian besar krisis air di wilayah utara, termasuk menyediakan pasokan air untuk kota besar seperti Beijing. Namun, proyek ini juga memicu kontroversi terkait dampak lingkungan, biaya pembangunan yang mencapai Rp 1,1 kuadriliun, dan relokasi penduduk dalam jumlah besar.